Dieng, sayang...


Tiga setengah tahun yang lalu! Iya, tiga setengah tahun yang lalu!! Waw waktu benar - benar berlalu begitu saja. Masih teringat jelas setiap detail perjalanan ke Bukit Sikunir Dieng selepas UAS kuliah semester 5. Perjalanan yang berawal dari keinginan yang kuat dan modal patungan saja. 
Bersama tujuh kawan lainnya, perjalanan ini tercetuskan sekitar dua hari sebelum hari ujian terakhir. Ujian terakhir pun berhasil dituntaskan. Lalu saat makan siang selepas ujian di tempat makan favorit kita, SBC, kami pun akhirnya membuat sebuah keputusan. "Beneran ga nih jadi jalan?". "Yaudah ayo." Kami semua pun bergegas ke tempat kos masing - masing untuk ambil barang yang perlu dibawa meskipun cuma baju ganti selembar dan hanya jaket saja. 
10 Januari 2017, sekitar pukul 2 siang, perjalanan pun dimulai dari titik temu di daerah sekitar Sokaraja. 8 orang, 4 motor, muda - mudi dengan kantong tipis tetapi keinginan kuat untuk bermain dengan kawan sebelum pulang ke kampung halaman masing - masing sepanjang liburan semester. 

Meeting Point. Left to right: Nisa, aku dan Dira

Saat perjalanan kecepatan kendaraan kami juga tidak terlalu mengebut seperti biasanya. Pertama kali kami berhenti di sebuah minimarket karena Dira harus tukar tiket kereta untuk kepulangannya. Lalu, jalanan sudah mulai berkelok - kelok dengan sisi kanan kira perkebunan salak, kentang dan lainnya. Suhu udara pun sudah mulai berganti. Dari yang awalnya kami kegerahan karena jaket yang dikenakan, sekarang tangan - tangan para pengendara motor sudah mulai terasa kaku karena dinginnya angin. Setelah itu kami berhenti lagi karena mesin dari motor Dira yang sudah kepanasan dan harus diistirahatkan sejenak. Namun tepat disaat itu justru kami disuguhkan pemandangan matahari terbenam dari pinggir jalan tempat kami berhenti. No lies, this part on the road was very soothing and calming with the wind breeze kissed our faces.



Meskipun di foto tidak terlihat, aslinya sunsetnya bagus banget ;)


Sekitar pukul 6 sore, tepat adzan maghrib kami pun sampai di pom bensin terakhir sebelum memasuki daerah Dieng Plateau. Kami menumpang sholat maghrib disana dan beberapa dari kami pun mengisi bahan bakar. Sebenarnya waktu perjalanan kami termasuk lama karena sudah 4 jam tetapi belum juga sampai di tujuan. Semua ini dikarenakan kami terlalu menikmati perjalanan dan seperti tidak ingin terburu - buru. 

Sesampainya di daerah Dieng Plateau, keadaannya sudah gelap gulita dan tidak ada lampu penerangan jalan sama sekali. Kami pun berhenti di jalanan dan diskusi, "mau dilanjutin ga nih?" karena dari kami semua tidak ada yang tau tempat bermalam di daerah atas, kami pun memutuskan untuk berbalik arah lagi lokasi dimana masih banyak pemukiman warga. Namun saat itu juga tiba - tiba ada lelaki berumur sekitar 40 tahun dengan sarung dilingkarkan ke tubuhnya menghampiri kami. Entah dari mana asalnya. Lelaki ini menawarkan jasa untuk menunjukkan jalan sampai ke atas. Bahkan dia sampai menunjukkan KTP-nya sembari berkata "bukan orang jahat kok, ini lihat aja ini mba mas." Justru itu yang membuat kami semakin yakin untuk turun ke bawah lagi. 

Lapar. Masih belum tahu akan bermalam dimana, kami pun mampir ke salah satu warung makan untuk mengisi perut yang mulai keroncongan karena suhu pun semakin dingin bagi kami. 


"Cari homestay mba, mas? Saya juga punya kok, mungkin mau lihat dulu," kata Ibu pemilik warung ketika tahu kami masih belum ada tempat bermalam. Saat kami melihat tempatnya, kami memutuskan untuk melihat - lihat pilihan lainnya terlebih dahulu. Herannya tidak ada satu pun dari kami gelisah ataupun mulai bersikap menyebalkan. Kami semua malah senang - senang saja padahal belum tahu akan tidur dimana sebelum besok dini hari naik keatas untuk melihat sunrise di bukit Sikunir. Beberapa justru berceletuk "numpang di masjid aja gue juga gapapa kok". Kenyataannya, masjid terdekat dikunci. Mungkin agar tidak ada pelancong macam kita yang menumpang tidur hahaha.

Kami pun mulai mengunjungi satu persatu tempat penginapan (homestay) yang bisa menampung delapan dari kami semua dengan budget miris mahasiswa. Dari satu ke tempat lainnya, belum ada juga yang cocok. Entah itu terlalu sempit, terlalu mahal, menyeramkan dan berbagai macam lainnya yang buat kami belum dapat memutuskan hingga pukul 8 malam. Sampailah kami melihat salah satu homestay yang menarik hati tetapi saat kami datangi hanya ada tamu yang sedang bermalam disana saja, sedangkan pemiliknya tidak ada di tempat. Kami pun menghubungi kontak yang kami dapatkan. Setelah tawar menawar dan bermusyawarah "gimana nih? patungannya lebih dari budget sedikit gapapa?,""bayarnya gue ganti nanti aja ya pas udah balik," "gue harus ambil ke atm dulu tapinya" dan segala macamnya kita pun setuju untuk menyewa dua kamar di homestay ini. Satu kamar untuk para lelaki dan yang satu lagi sudah jelas untuk perempuan - perempuan. 

Meskipun terdapat dua kamar, tetapi kamar kami ini hanya dipisahkan oleh satu pintu dan kamar mandi pun terletak di kamar lelaki. Oleh sebab itu, pintu pun tetap kami buka untuk lalu lalang ke kamar mandi. Dingin! Kita pun bermain truth or dare, canda tawa dan berbincang - bincang sambil tetap mengeratkan jaket ke tubuh masing - masing. Setelah lelah, kami pun mulai tidur di kasur masing - masing karena sekitar pukul 3 pagi kami berencana untuk melanjutkan perjalanan ke atas untuk melihat matahari terbit, tujuan utama kami. Tetapi nyatanya, meskipun sudah berada di kamar masing - masing, kami pun tidak henti - hentinya tertawa terbahak - bahak karena saling melontarkan lelucon terutama Zulian yang tidak ada lelahnya untuk berceloteh. Sekitar pukul 2 dini hari, masing - masing dari kita pun baru mulai terlelap. 

Pukul 4 pagi, dengan usaha maksimal untuk membangunkan kawan - kawan yang lelaki, kami pun bersiap - siap untuk berangkat. Motor - motor di garasi pun mulai dipanaskan. Tidak lama kemudian, kami pun menerjang dinginnya Dieng. Aku yang dibonceng kala itu hanya bisa meringkuk dan berusaha untuk tidak terkena dinginnya angin. Setelah melewati palang masuk dan membayar karcis, kami pun sampai di tempat parkir. Kami melaksanakan sholat shubuh di mushola yang tersedia terlebih dahulu sebelum berjalan menaiki bukit. 

Perjalanan ke atas bukit seharusnya tidak terlalu melelahkan. Hanya saja karena dinginnya cuaca membuat kadar oksigen rendah dan beberapa dari kami mulai payah. Namun akhirnya kami pun sampai diatas bukit Sikunir (yeay!). Ternyata diatas sudah banyak sekali orang - orang yang bertujuan sama dengan kami. Setelah menunggu dengan diselingi petasan yang dinyalakan oleh satu rombongan anak muda, cahaya matahari pun mulai terlihat. Namun sayang sekali, setelahnya awan sangat tebal dan matahari pun tidak memiliki kesempatan untuk menampilkan cahaya terbitnya. Kami yang mulai menggigil ini pun mengabadikan beberapa momen seadanya. Tentunya dengan kantung mata yang tebal karena kurang tidur. Namun sungguh meskipun lelah, mengantuk dan dingin yang membeku, semua itu terbayarkan dengan momen berharga dimana kami dapat mewujudkan perjalanan ke bukit Sikunir ini sendiri. Terlebih lagi, sepanjang perjalanan ini tidak ada perbedaan pendapat sedikitpun. Menurutku ini faktor terpenting dalam memilih teman perjalanan, karena bila tidak cocok dengan orang tersebut, seluruh perjalanan bisa rusak hanya karena ketidakcocokan dalam hal sepele. Dan semua itu nihil dalam perjalanan ini. 

Cloudy sunrise




Kami hendak mampir ke lokasi plateau itu sendiri tetapi karena beberapa dari kami sudah tidak sanggup menahan dingin, akhirnya kami semua memutuskan untuk langsung kembali ke homestay. Kami menyantap sarapan, bercanda, dan beberapa dari kami kembali tidur sebelum bersiap - siap perjalanan pulang. Dan faktanya tidak ada satupun dari kami yang berniat untuk mandi pagi. Atau ada? Entahlah.. yang jelas water heater yang tidak menyala itu sungguh menyiksa saat mencuci muka dini hari tadi.

Depan homestay, difotoin sama bapak homestay-nya tapi ada tangan bapaknya. Baik, tidak apa - apa :))

Ini merupakan salah satu perjalanan yang sangat membekas untuk aku. Dan merupakan salah satu cerita yang pastinya nanti akan aku ceritakan ke anak dan cucu aku nantinya.
And for my 20 years old-version friends (seven of you), you guys were so rock. Thank you for giving my life meaning and indeed precious memory. I'll cherish it forever and ever.

Comments