Bolehkah saya rindu?

Bolehkah saya rindu? 

Karena rasanya tidak adil ketika kamar saya sudah dalam keadaan gelap, tidak ada lagi sosok yang membuka pintu kamar ini perlahan-lahan untuk memastikan saya sudah tidur. 

“Tidur, de”. Begitu tegurnya jika mata saya masih lekat pada layar telepon genggam yang terang di antara gelapnya ruang ini. 

Rasanya juga tidak adil, tidak ada lagi sosok yang masuk ke kamar ini dengan sapu lidi di tangannya lalu menyalakan lampu kamar saya hingga membuat saya terbangun. Saya tidak mengeluh, dia pun menatap saya dengan mimik rasa bersalah namun saya hanya membalikkan badan untuk menghalangi sinar yang menusuk mata ini. Praaak. Ya, sosok ini pada pukul 1 pagi dengan semangatnya mengejar nyamuk-nyamuk yang sedang mencari makan untuk perut lapar mereka. 

Kadang sosok ini juga mengusap kepala saya atau kadang menciumnya. Tidak setiap malam seperti di film-film. Tapi ketika ia melakukannya, itu sudah hal biasa untuk kami.

Bolehkah saya rindu? 

Di waktu shubuh, sosok ini kembali melongok ke dalam kamar dan bertanya dengan suara bassnya, “sudah shubuh belum?”. Saya jawab dengan sedikit rasa terganggu karena lagi-lagi ia menyalakan lampu kamar saya, dan saya jawab “Sudah. Matikan lampunya lagi tolong”.

Bolehkah saya rindu? 

Karena baik itu di pagi hari, atau siang hari, atau mungkin malam hari, tergantung jadwal aktivitas kami, sosok ini dari meja makan selalu memanggil kita satu per satu mengajak kita makan bersamanya. Kadang salah satu dari kita turut menyantap hidangan bersamanya, seringkali kita semua akan meninggalkan hal atau pekerjaan yang sedang kita lakukan untuk makan bersama di meja makan. 

Tetapi yang paling berkesan adalah waktu makan siang selepas sholat Jum’at. Sosok ini akan masuk ke rumah menggunakan koko putihnya —atau hijau tosca, lalu melepaskan pecinya dan ditaruh di samping TV. Kalimat yang keluar dari mulutnya setelah salam adalah “makan yuk”. Ibu pun menyiapkan lauk pauk dengan sayur dan tidak lupa sambal yang baru saja selesai dimasaknya. Semua masih hangat. Saya dan siapapun anggota keluarga yang ada saat itu akan berkumpul di meja makan bersama sosok ini untuk menyantap lezatnya masakan Ibu. Tentu saja kita bercengkrama, mengomentari masakan Ibu, bercerita ina-inu, seakan tidak pernah habis topik obrolan kita semua.

Bolehkah saya rindu?

Rasanya tidak adil karena saya mulai terbiasa tanpa adanya sosok ini. Seakan saya mulai melupakan kehadirannya yang pernah ada. Tapi bukan itu yang terjadi. Hanya saja, saya harus melanjutkan hidup saya. Persis seperti yang disampaikan sosok ini pada saya. 

Dan untuk melanjutkan hidup, saya harus berdamai dengan semua ketidakadilan yang saya rasakan.

Padahal Allah adalah Tuhan yang Maha Adil. Bisa-bisanya saya merasa seperti itu. 

Namun saya hanyalah manusia biasa. Adakalanya saya merasa rindu yang amat sangat pada hal-hal sepele yang biasa saya lewati bersama sesosok ini. 

Hal-hal yang terkesan sepele tetapi sekarang membuat saya sangat rindu padanya. Bahkan 1000 lembar halaman pun tidak akan cukup untuk menuliskan detail kerinduan saya pada hal-hal sepele yang biasa kami lakukan bersama.


Oleh karena itu, untuk malam ini, biarkan saya rindu pada Ayah saya.

Comments